Kota Daeng yang Bersejarah di Makassar

“Yud, buruan. Ntar ketinggalan pesawat, lho!”.

Aku bergegas mengambil daypack yang masih setengah terbuka sambil terengah-engah. Panggilan Tajab seakan mengisi seluruh lorong rumah, memanggilku untuk segera keluar dari kamar. Bukan sekali dua kali aku terburu-buru seperti ini. Tergesa-gesa seakan menjadi bumbu dalam setiap perjalananku. Sampai-sampai Ibuku pernah bilang, ketika aku tak tergesa-gesa ada kemungkinan besar barang yang tertinggal.

Mataku menyipit terkena siraman matahari yang berada tepat di atas ubun-ubun. Jalan mulai tampak padat dipenuhi para pekerja yang mencari makan siang. Tajab memacu mobil cukup kencang, membelah jalanan kota Makassar. Sudah terlalu dekat, tak mungkin gagal lagi kali ini.

Sudah empat kali aku mengunjungi Makassar, kota Daeng. Yang pertama dan kedua, ketika aku mengunjungi almarhum Ayah yang sedang bekerja disana. Ketiga, Makassar merupakan titik dimana perjalanan panjangku selama enam bulan berakhir. Dan saat ini adalah kunjunganku yang keempat. Sampai sekarang, aku belum pernah menginjakkan kaki di kompleks Karst terluas nomor dua di dunia, Rammang-Rammang. Padahal, aku sudah mendengar tentang Rammang-Rammang ini sejak lama, semenjak Ayahku berkerja di Makassar.

Untuk menuju Rammang-Rammang, kami melintasi jalan menuju Kabupaten Maros. Sempat-sempatnya Tajab membeli beberapa cemilan, padahal baru saja menghabisi satu porsi konro bakar dan dua piring nasi.

“Yud, bangun! Hampir sampai!”.

Ternyata, aku tertidur sepanjang perjalanan. Sambil mengucek-ngucek mata, aku memperhatikan pemandangan sekitarku. Sawah-sawah subur yang sedang kuning-kuningnya, terhampar luas sepanjang mata. Kerbau-kerbau sedang merumput, menemani si gembala yang sedang beristirahat. Beberapa petani sibuk mencangkul, sesekali mereka mengusap keringat. Menenangkan dan melegakan. Tetapi, bukan itu yang membuatku terpana.

Tatapanku terpaku pada sebuah tebing. Tebing tinggi yang berdiri dengan gagahnya. Diatasnya, tumbuh vegetasi yang cukup lebat, bak rambut manusia. Aku menyadari bahwa tebing itu membentuk sebuah kompleks yang sangat luas.

Karst?

“Rammang-Rammang…”.

Mataku masih terbelalak melihat langsung kegagahan dari tebing yang berada tepat didepanku. Teringat jelas memori tentang perjalanan mengelilingi beberapa karst, sebut saja Raja Ampat, Lembah Harau, dan Van Vieng. Indah? Pastinya indah dan memesona. Mana yang terbaik? Tak bisa kujawab, karena setiap kompleks karst memiliki keunikannya masing-masing.

“Yud, mau masuk? Kalau mau masuk kita harus naik perahu, melintasi sungai.” tanya Tajab.

“Masuk kemana? Ke Rammang-Rammangnya?”.

“Yup, masuk Desa Barua. Desa yang berada di tengah perbukitan Rammang-Rammang”.

Melintasi sungai? Sepertinya opsi yang sangat menarik! Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Tajab.

Kami langsung bergegas mencari dermaga dimana lokasi kapal biasa bersandar. Di Rammang-Rammang terdapat tiga buah dermaga. Saya memilih dermaga pertama dengan pertimbangan jarak dan waktu tempuh yang lebih lama, otomatis jauh lebih puas.